Mengurai Kurikulum Tematik Integratif

Mengurai Kurikulum Tematik Integratif
(Koran Tempo, Opini, 1 Desember 2012)
Oleh: Yanto Musthofa
Anggota Majelis Pengurus Pusat ICMI Bidang Pemberdayaan Anak dan Remaja

Penerapan Kurikulum Tematik Integratif (KTI) untuk sekolah dasar, yang diumumkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh, Sabtu dua pekan lalu, Kamis ini memasuki tahap uji publik. Keputusan itu patut diapresiasi mengingat sedikitnya ada dua hal di dalamnya. Pertama, perampingan muatan kurikulum dari 10 menjadi enam mata pelajaran. Kedua, sifat integratif kurikulum yang akan dialirkan melalui tema-tema.
Perampingan itu membuka ruang lebih luas bagi pembangunan aspek-aspek penting perkembangan anak, yang selama ini terdesak oleh beban target menuju berhala ujian akhir nasional. Aspek-aspek penting itu antara lain kecerdasan ragawi, afeksi, daya nalar, social skill, dan moral. Bagian-bagian utama pembangunan karakter itu selama ini tersisih oleh perburuan indikator kompetensi yang sumir, yang berkutat pada kemampuan mengerjakan soal-soal ujian.
Pembangunan karakter merupakan proses panjang pengaktifan seluruh sendi kecerdasan anak. Di dalamnya ada pembangunan logika sebab-akibat, termasuk menyangkut perbuatan dan tanggung jawab. Ada latihan menarik kesimpulan dari pengalaman. Ada penanaman konsep kebahasaan. Ada telaah tentang sudut pandang diri dan orang lain. Dan banyak lagi.
Belajar sejak bayi
Pendidikan berarti pembangunan karakter, membangun kesiapan anak untuk mengarungi kehidupan sebagai manusia yang utuh. Seluruh proses itu bermula dari taraf serba konkret: mendengar, melihat, menyentuh, merasakan benda-benda di sekeliling. Proses itu dimulai sejak anak lahir, yang oleh psikolog Swiss, Jean Piaget, diuraikan sebagai asimilasi dan akomodasi schema. Schema adalah instrumen untuk mempelajari sesuatu dalam interaksi dengan benda atau orang di sekitarnya. Misalnya, saat merasakan jari sang ibu di tangannya, bayi tergerak untuk menggenggam dan berusaha membawanya ke mulut.
Kualitas schema meningkat seiring dengan keragaman stimulus yang dijumpai. Dari domain konkret, schema beranjak ke ranah abstrak. Konsep abstrak tak bisa dibangun dengan benar tanpa pembangunan konsep yang benar pada fase konkret. Pendidikan seharusnya adalah upaya sengaja membantu transformasi itu sesuai dengan tahap-tahap perkembangan. Membangun sikap cinta belajar dan kecakapan belajar (how to learn) lebih utama ketimbang memburu pencapaian indikator kompetensi. Sebab, pendidikan bukanlah upaya mencetak manusia sesuai dengan pesanan ruang-ruang kerja industri.
Dengan sifat integratifnya, KTI dapat diharapkan melatih anak memandang suatu persoalan secara utuh dengan kemampuan mengklasifikasi bagian-bagiannya. Ini menjadi modal dasar dalam operasi berpikir logis-analitis. Sebagai contoh, uraian materi Tema Laut bisa membawa anak menjelajahi pengetahuan IPS dalam klasifikasi Sub-Tema Sumber Ekonomi Laut. Pada bagian lain, pengetahuan IPA dapat dialirkan dalam klasifikasi Sub-Tema Binatang Laut atau Sub-Tema Air Laut. Selain cermat menyiapkan materi tema, guru dituntut menjadi pribadi yang tak pernah lelah “belanja” pengetahuan. Dari guru yang kaya pengetahuan, penjelajahan murid pun menjadi kaya.
Desain penerapan
Bertolak dari uraian di atas, sedikitnya empat aspek perlu segera dirumuskan menyangkut KTI. Pertama, klasifikasi tahap pembelajaran. Keberhasilan pembelajaran tak bisa lepas dari desain kegiatan yang sesuai dengan tahap perkembangan (developmentally appropriate practices). Klasifikasi perlu dijabarkan secara spesifik berkesinambungan menurut tahap-tahap perkembangan anak.
Secara formal, saat ini berlaku pemisahan fase prasekolah dari nomenklatur “pendidikan dasar”. Padahal, pada fase prasekolah dan SD, terdapat irisan periode pola belajar yang tak bisa diingkari: anak usia 0 sampai 8 tahun memiliki pola belajar sambil bermain. Jika pemisahan tersebut tetap berlaku, perlu sinkronisasi kebijakan lintas jenjang satuan pendidikan, agar terjadi kesinambungan proses pembelajaran.
Terkait dengan itu, penting dirumuskan aspek kedua dari KTI, yakni desain strategi pembelajaran. Model berbasis proyek bisa menjadi satu alternatif. Sebagai contoh, jika fondasi prasekolah sampai masa transisi kuat, suasana pembelajaran seperti ini bisa diharapkan muncul pada kelompok anak kelas IV SD: guru membuka pembahasan interaktif materi tema yang relevan dengan mata pelajaran. Setelah itu, anak mengerjakan empat sampai lima proyek dengan pendampingan guru. Proyek bisa berupa observasi (field trip), menggali informasi dari buku dan ensiklopedi, membuat laporan, dan menjawab pertanyaan guru. Setelah itu, kelas melakukan recalling atas proses selama jam belajar.
Aspek ketiga adalah sumber pembelajaran. Janji buku gratis dari Wakil Mendikbud Musliar Kasim, dan isyarat penghapusan lembar kerja siswa (LKS), bisa menjadi titik awal yang baik. Keberadaan LKS harus diakui turut menjauhkan praktek sehat dari keseharian anak, yaitu mencatat. Mencatat, terutama yang bertumpu pada inisiatif anak dan dengan tulisan tangan, adalah cara belajar yang efektif, karena kegiatan itu melibatkan kerja aktif otak (part-of-mind activity).
Intinya, penyediaan sumber pembelajaran yang berlimpah dengan mutu terjaga menjadi keharusan. Isi buku pelajaran seyogianya mengusung faktor penggugah minat belajar dan mengindahkan faktor kesesuaian dengan tahap perkembangan anak. Misalnya, anak kelas I SD, yang baru menapaki fase belajar baca-tulis, membutuhkan tampilan buku dengan porsi informasi visual lebih besar ketimbang informasi verbal.
Aspek keempat, instrumen evaluasi, perlu segera dipertegas titik tekannya, apakah sebagai tiket naik jenjang ataukah instrumen pemetaan dan acuan tindakan. Penegasan ini penting guna menentukan desain evaluasi. Selain itu, perlu ditinjau kembali desain laporan hasil belajar (rapor) yang cenderung berisi angka-angka kering nilai mata pelajaran. Sudah saatnya rapor memuat juga uraian komprehensif indikator perkembangan sikap-sikap utama, seperti kejujuran, tanggung jawab, disiplin, motivasi, kerja sama, dan lain-lain. Bukankah indikator-indikator ini yang lebih dekat dengan gambaran tentang kualitas output pendidikan? *

Tinggalkan komentar