Psikologi Perkembangan: Mata Kuliah Wajib Bagi Calon Pengantin

Masalah apa saja yang paling menyibukkan pasangan calon pengantin dan keluarga mereka dalam menyambut pernikahan? Pasti tak jauh dari urusan berapa dana yang sudah tersedia, dibikin seperti apa pestanya, soal pekerjaan, soal pendapatan perbulan, soal rumah, soal kendaraan. Hal-hal yang sejenis itu. Kalau pun berbeda, umumnya hanya pada skala dan seleranya saja, tapi substansinya sama.

Soal perencanaan pendidikan anak? Kalaupun didiskusikan, perencanaan umumnya lebih didominasi urusan finansial, asuransi atau mau pilih sekolah yang seperti apa. Tapi, lazimkah pasangan calon pengantin berdiskusi tentang tahap-tahap perkembangan psikologis dan kognitif anak, misalnya? Atau, dalam istilah yang lebih umum, apakah mereka tergugah untuk belajar tentang Psikologi Perkembangan?

Mungkin jika di antara pembaca tulisan ini ada yang melakukannya, maka saya menebak mereka adalah pasangan mahasiswa-mahasiswi, lulusan atau dosen di Fakultas Psikologi. Paling tidak, salah satu dari pasangan adalah mahasiswa atau mahasiswi, lulusan atau dosen Psikologi.

Mengapa saya memasang judul “Mata Kuliah Wajib”? Saya serius, saya membayangkan alangkah indahnya nasib anak-anak Indonesia, bila setiap pasangan calon pengantin diwajibkan mengikuti kuliah Psikologi Perkembangan. Tentu saja mereka tidak harus berjibaku membaca literatur-literatur tebal, mengerjakan tugas-tugas penyusunan makalah yang ribet, dan tidak harus beberapa semester lamanya. Tapi, ini krusial, karena menyangkut daging dari tugas pokok dan fungsi pasangan calon pengantin saat mereka kelak menjadi orangtua.
Meskipun demikian, yang saya maksud dengan frasa “Mata Kuliah” ini jelas tidak sama dengan himpunan tips parenting, yang umumnya disajikan secara sepotong-sepotong. Ini bukan sekadar tips mengatasi anak yang tidak mau makan sayur, tidak disiplin, tidur terlalu larut malam, terlalu banyak jajan, sulit bergaul dan lain-lain. Tips adalah sesuatu yang ditujukan untuk mengatasi atau mencapai hal-hal spesifik. Sementara “Mata Kuliah” adalah sebuah struktur, sebuah bangunan pengetahuan yang harus dicerna secara utuh.
Angan-angan tentang “Mata Kuliah” ini terus berkecamuk dalam pikiran saya sejak saya mengikuti rangkaian modul-modul pelatihan guru Metode Sentra di Sekolah Al-Falah Jakarta Timur dan Sekolah Batutis Al-Ilmi Bekasi, Jawa Barat. Saya tercengang (dan agak malu sebenarnya) karena jelek-jelek begini saya termasuk mantan mahasiswa kependidikan, dan tiba-tiba memergoki “Mata Kuliah” yang krusial ini di luar bangku kuliah. Soal tercengang ini urusan personal yang tidak penting. Poin yang ingin saya sodorkan adalah desain modul dan desain pelatihannya begitu kompak dan efisien menyentuh tiga masalah elementer terkait dengan tupoksi orangtua.
Masalah pertama adalah tentang filosofi penuntun misi orangtua agar selamat sampai bertemu dengan Allah swt saat mati nanti. Artinya, dengan mempelajari “Mata Kuliah” ini, orangtua mencapai point of no way back, harus mengambil peran menjadi guru bagi anak-anaknya. Orangtua harus menjadi pelaku utama dalam misi mendidik anak, tidak bisa tergantikan oleh guru atau sekolah, semahal apapun pendidikan yang mampu dia beli untuk anaknya. Karena itu, orangtua harus benar-benar belajar supaya benar-benar tahu apa yang berproses pada anak-anaknya. Selain itu, jika guru diasumsikan sebagai mitra orangtua, dan mereka sendiri pun orangtua atau calon orangtua, maka setiap guru pun wajib mempelajari “Mata Kuliah” ini.
Masalah kedua adalah tentang bagaimana proses perkembangan anak, terutama pada masa-masa krusial sejak dalam kandungan hingga akil balig. Ini adalah semacam peta penuntun. Bayangkanlah apa yang terjadi bila kita harus menjalankan satu misi dengan menyetir mobil dari Jakarta ke Surabaya tanpa peta dan tanpa pengetahuan di mana itu Surabaya, lewat mana dan bagaimana kondisi jalan yang akan kita lintasi. Tanpa peta penuntun tentang tahap perkembangan anak, dan kita mendidik anak dengan hanya mengandalkan logika, persepsi dan common sense yang kita pungut dari sembarang tempat?
Masalah ketiga, adalah menyelami apa kebutuhan anak dan bagaimana cara mencukupi kebutuhannya agar mereka bisa menjalani proses kehidupannya dengan sehat dan lancar menjadi manusia khalifah yang bermanfaat bagi dirinya, bagi orang lain dan turut memakmurkan bumi. Ada satu contoh menarik tentang hakikat kebutuhan anak. Dalam pelajaran agama (Islam) mungkin sebagian besar kita sudah hafal pengetahuan tentang 40 hari masa nifas bagi ibu yang baru melahirkan dan konsekuensi syar’inya. Bahwa dalam masa itu ibu tidak perlu menjalankan ritual ibadah.
Nah, hasil riset modern menjelaskan bahwa masa 40 hari pertama itulah masa yang paling krusial untuk membangun bekal trust (kepercayaan, rasa aman) anak pada orang-orang terdekatnya dan pada dunia di sekelilingnya. Sebab, anak baru saja melalui momen traumatik kelahiran yang memaksanya keluar dari kenyamanan alam rahim selama sembilan bulan. Kualitas hubungan anak dan ibu pada periode itu adalah faktor yang kuat dalam membentuk watak anak di usia dewasanya. Dan itu sebabnya, pada masa itu keberadaan ibu hanya untuk anak.
Seandainya setiap pasangan calon pengantin berjibaku memburu bekal dan persiapan sejenis “Mata Kuliah” wajib ini, maka rasanya tidak berlebihan bila saya membayangkan tidak akan ada lagi disharmoni hubungan guru-orangtua dalam pendidikan Indonesia, terutama kalau sudah menyangkut perilaku negatif anak sekolah. Sudah sangat umum, setiap muncul heboh kenakalan, kejahatan, pergaulan bebas, narkotika, dan penyakit-penyakit sosial lain yang melibatkan anak sekolah, maka guru (sekolah) dan orangtua seperti adu cepat menarik garis demarkasi: “ini bukan tanggungjawab saya,” atau “apa saja kerja guru?” Menyedihkan, karena semestinya orangtua dan guru (sekolah) adalah tim dalam satu misi yang sama: menyukseskan kehidupan anak. Entah kalau pendidikan sudah mengalami mutasi gen jadi komoditi yang mengikuti hukum wani piro.
Mohon maaf pembaca, tulisannya panjang, dan di akhir tulisan ini saya harus berterus terang bahwa sebetulnya ini lebih merupakan curhat pribadi. Sebuah curhat dengan penuh harap semoga jika kelak anak-anak saya (Lubbi-Negar-Nadin) membaca tulisan ini, mereka mau memaafkan dengan ikhlas begitu banyak kekeliruan dan kekhilafan saya sebagai orangtua. Dengan ini, agak berkurang beban saya menanggung angan-angan yang berkecamuk. Maafkan saya, ya pembaca. Salam hangat.

Tinggalkan komentar