Akar Masalah Rendahnya Kemampuan Membaca dengan Makna

Salah satu kegelisahan besar yang terus mengemuka di kalangan dunia pendidikan adalah rendahnya minat dan daya baca anak-anak Indonesia. Tingkat rendah itu terbawa sampai dewasa, sehingga konsumsi dan produksi judul buku di negeri ini pun tergolong rendah. Betapa tidak? Negeri berpenduduk 250 juta jiwa ini baru menghasilkan 18 ribu judul setahun, dengan oplag rata-rata 3.000 per judul. Sehingga, buku yang terjual 10.000 eksemplar saja sudah dipuji sebagai “best-seller”.

Bandingkan dengan, misalnya, Jepang yang di atas 70 ribu judul, India 60 ribu judul, atau China 140 ribu judul. Di Jepang yang industri perbukuannya ditengarai sedang “terjun bebas” akibat besarnya pengaruh kemajuan teknologi digital, pada tahun 2012 ada 78.439 judul buku baru terbit dengan oplag total 358.120 eksemplar. Rata-rata satu judul terjual 4.571 eksemplar. Buku sastra tergolong paling laku, terjual hingga 9 ribu per judul –13 ribu lebih judul buku sastra terbit di tahun itu. Ya, memang belum bisa dibandingkan dengan jawara dunia sejenis seri Harry Potter-nya J.K Rowling yang terjual sampai 65 juta eksemplar. Tapi, itu sudah terlalu perkasa untuk disandingkan dengan perbukuan nasional kita.

Banyak ikhtiar yang sudah lama dan masih terus dilakukan, baik oleh pemerintah maupun kelompok-kelompok masyarakat peduli literasi, untuk meningkatkan minat dan budaya baca. Mungkin tak banyak yang tahu, di Direktorat PAUDNI Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI setiap tahun tersedia tak kurang dari 10 program yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan upaya peningkatan budaya baca. Lembaga atau organisasi kemasyarakatan di seluruh Indonesia dipersilakan mengajukan diri untuk menjalankan program itu yang sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah.

Saya atas nama Yayasan Insan Nahlah Semesta di Bogor, pada tahun 2011, pernah menyelenggarakan salah satunya, yaitu Program Peningkatan Budaya Tulis Melalui Koran Anak. Sangat bermanfaat dan mendapat sambutan yang sangat positif dari para peserta dan orangtua anak-anak yang mengikuti program itu. Terbukti, dengan membangkitkan kepercayaan diri mereka, anak-anak mampu secara mandiri menulis, mengelola dan menerbitkan koran. Namun, saya belum berani mencoba lagi, karena keterbatasan tenaga pengelola dan proses pengurusannya lumayan repot serta menyita waktu, mulai dari pemerintahan Desa, Kecamatan, Unit Pelayanan Teknis, Dinas Pendidikan sampai ke Kementerian.

Baiklah, saya tidak ingin sedikitpun memandang secara negatif kreativitas program-program yang disediakan pemerintah, apalagi oleh masyarakat luas yang peduli pada peningkatan budaya literasi. Saya percaya kreativitasnya tidak kurang, baik secara kuantitas maupun kualitas. Namun, faktanya sampai sekarang budaya literasi bangsa kita masih jauh dari harapan.

Dalam tulisan ini, saya hanya ingin menyodorkan sebuah pertanyaan: apa sesungguhnya yang menghambat pembangunan budaya literasi itu? Untuk menjawab pertanyaan ini secara komprehensif tentu saja membutuhkan kajian dan riset ilmiah yang rutenya bisa sangat panjang. Namun, tak ada salahnya saya mengajak para pembaca untuk turut “mencurigai” adanya problem elementer pada pondasi pendidikan, yakni pendidikan usia dini (PAUD) atau prasekolah. Tentu saja, problem ini tidak semata-mata mencakup desain formal PAUD, tetapi juga pemahaman dan budaya yang berkembang dalam lingkungan anak, terutama keluarga.

Perhatikanlah ironinya. Seorang kawan yang pernah bermukim di Selandia Baru menceritakan bahwa anak-anak sekolah di sana baru diperkenalkan dengan aktivitas baca-tulis atau keaksaraan riil (literacy proper) pada kelas III Sekolah Dasar. Sementara di sini, bahkan anak sedini usia empat tahun sudah dilatih dan berhasil membaca dengan lancar. Biasanya karena orangtua khawatir anaknya tidak bisa lolos ujian masuk ke SD idaman. Namun, pada usia dewasa, yang kita dapati adalah generasi digital yang malas baca buku, malas mencerna teks, dan reaksioner terhadap judul-judul berita provokatif, sehingga mudah digiring hanya dengan sepotong informasi yang belum terverifikasi.

Kalaulah anak-anak yang sudah mahir baca sejak usia 4 tahun, atau pada usia 6-7 tahun saat masuk kelas I SD, itu benar-benar mampu membaca dengan makna, maka mereka tentulah akan tumbuh menjadi generasi yang selalu lapar akan bacaan-bacaan penghibur atau dahaga informasi yang bisa dipuasi oleh buku. Nyatanya tidak. Yang ada adalah generasi yang mata dan kepalanya alergi dengan deretan huruf-huruf di buku, tapi tidak sakit menonton berjam-jam sajian televisi yang menindas akal sehat.

Jadi, sekurang-kurangnya ada satu pertanyaan lanjutan yang patut dikaji untuk menelisik akar masalah rendahnya budaya literasi, yakni keroposnya pondasi kemampuan membaca dengan makna. Sering terjadi, anak mampu dengan lancar melafalkan teks, tapi setelah membaca dan kepadanya disodorkan sederet pertanyaan pemahaman (comprehension) terkait teks itu, dia tidak mampu menjawab. Artinya, kemampuan membacanya hanya sebatas pelafalan (recitation), tidak disertai pemahaman (comprehension).

Jika dianalogikan pada kemampuan matematik, anak seperti itu telah melompat ke tahap yang dinamakan kemahiran prosedural atau procedural fluency, melongkapi pondasi konkretnya, yaitu pemahaman konseptual (conceptual understanding). Misalnya, anak mampu dengan cepat mengerjakan operasi perkalian (bahkan untuk deretan angka majemuk), namun dia belum memiliki basis konseptual yang kuat tentang tentang perkalian, dan hubungannya dengan konsep penjumlahan, pengurangan dan pembagian.

Dalam konteks kemampuan membaca, anak sangat mungkin mampu melafalkan dengan lancar susunan huruf menjadi suku kata dan kata sampai kalimat, tanpa memahami maknanya. Sebab, dia mahir dari pelatihan (drill) melafalkan gabunan aksara menjadi suku kata dan kata sampai kalimat. Misalnya aksara “m” + “a” dibaca “ma”, “s” + “a” dibaca “sa”, dan seterusnya. Gabungan aksara-aksara yang disodorkan kepadanya itu tidak muncul dari proses konsep internal, atau terkait dengan proses penemuannya sendiri.

Bandingkan itu dengan praktik yang berlaku di sekolah yang menggunakan Metode Sentra. Pembelajaran keaksaraan distimulasi untuk tumbuh alamiah berdasarkan internal curiosity anak. Misalnya, saat sesi Jurnal Pagi, anak membuat coretan di kertas kosong. Guru menanyakan apa yang dibuatnya. Lalu guru memotivasi atau membantu anak menuliskan kata yang dimaksud, menyebutkan huruf-hurufnya dan mengartikulasikan kata itu tanpa melalui artikulasi penggalan-penggalan suku katanya.

Patut dicatat bahwa kata yang muncul dalam coretan anak adalah selalu kata yang sangat dekat dengan diri anak, dan itu merupakan bagian dari proses panjang penemuan konseptual. Proses itu memiliki akar yang tumbuh menuju konsep tanda (concept of sign), yang dimulai dari tahap pendengaran (audio) dan penglihatan (visual) dari benda-benda atau orang-orang yang ada di sekitarnya. Semakin kaya pengalaman pada tahap audio dan visual, semakin kuat pula pembelajaran keaksaraan yang bermakna.

Itu sebabnya, ibu saat mengasuh bayi sejak lahir sangat dianjurkan untuk aktif mengartikulasikan kepada anak secara jelas, benar dan terstruktur setiap kata dan kalimat yang terkait dengan bermacam-macam konsep, entah itu benda, orang, kegiatan, keadaan, fungsi, manfaat dan lain-lain. Tidak boleh dibelokkan atau dicadelkan. Semua kekayaan pengalaman itu akan menjadi basis yang kokoh, bukan hanya untuk pembelajaran keaksaraan, tapi juga pembelajaran-pembelajaran lanjut hingga dewasa.

Dalam terminologi Al-Qur’an, ada tahapan-tahapan alamiah yang dilalui manusia untuk meraih ilmu, dari keadaan tidak “mengetahui apa-apa” (la ta’lamuna syai’an, atau tidak berilmu). Tahapan-tahapan itu adalah pendengaran, penglihatan, dan akal budi. “Dan Allah mengeluarkan kalian dari perut para ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa. Lalu Allah memberi kalian pendengaran, penglihatan dan akal budi agar kalian bersyukur.” [QS. An-Nahl (16): 78]. Semua tahap itu, sejak tahap pendengaran, penglihatan, sampai tahap akal budi, adalah proses pembelajaran dalam kehidupan.

Dari yang konkret sampai ke yang abstrak, semua harus dijalani dengan ikhtiar secara sengaja dan bersungguh-sungguh. Tidak selayaknya proses itu dibiarkan berjalan apa adanya. Orangtua atau orang dewasa yang telah dikarunia akal budi sudah semestinya membantu agar anak menjalani periode pertumbuhannya yang paling krusial secara optimal dan bermakna. Wallahu a’lam bish-shawab.

Satu respons untuk “Akar Masalah Rendahnya Kemampuan Membaca dengan Makna

Tinggalkan komentar