Cinta Mengurung Yudhistira “Arjuna” Massardi

Cukup lama resensi ini tertunda, sepekan lebih. Tak ada penyebab dan alasan lain yang bisa saya ajukan buat mengharapkan permakluman, selain tetek-bengek klise rutinitas sebagai penulis lepas dan tuntutan-tuntutan tenggatnya. Sebagaimana pentas pembacaan puisi sekitar satu setengah tahun sebelumnya, pentas “Perayaan Cinta” menghadirkan “tikungan-tikungan” yang mengejutkan khas puisi-puisi Yudhistira Massardi.

Untuk kedua kalinya, penyair senior Yudhistira ANM Massardi menyuguhkan pentas pembacaan puisi di Galeri Indonesia Kaya, Mal Grand Indonesia Jakarta Pusat, pada 28 Februari 2017. Di tempat yang sama, pada 19 Agustus 2015, Yudhistira menghadirkan pentas pembacaan buku kumpulan puisi 99 Sajak, yang meraih dua penghargaan: Buku Puisi Terbaik 2015 dari Yayasan Hari Puisi Indonesia 2015 dan Buku Puisi Terbaik versi Pusat Pembinaan Bahasa Tahun 2016. Kali ini, pentas untuk buku kumpulan puisi berjudul Perjalanan 63 Cinta, Kumpulan Puisi Biografis hadir bersamaan dengan perayaan ulangtahun Yudhis yang ke-63. Kedua buku puisi diterbitkan oleh Kepustakaan Popular Gramedia (KPG).

Selain mengandalkan kekuatan olah vokal Yudhis sendiri yang tetap prima, pentas menyuguhkan dua jawara jagad panggung teater, Renny Djajoesman dan putrinya, Yuka Mandiri. Meski demikian, entah karena kekuatan puisi-puisi Yudhis atau karena kejelian memilih pembaca-pembaca puisi (mungkin dua-duanya), pentas malam itu terasa mengalir begitu mulus, mulai dari pembaca belia Danastri Ramadhani (Dhani) dan Si Bungsu Kafka Dikara, sampai Renny-Yuka dan sastrawan senior Jose Rizal Manua.

Dahni, misalnya, dengan suara lembutnya mampu menampilkan secara utuh tikungan bait pada Hongdae.

Seperti nyanyi empat musim
Dalam sonata dan orkestra
Yang selalu dimainkan ulang
Oleh para pecinta yang ogah pulang
“Kita akan pindahkan Bekasi ke sini?” katamu.

Atau Kafka yang berpostur atletis mengibarkan aura daya juang dalam Orchard

Beberapa lagu
Melupakan waktu
Ketika kata-kata

Menguning
Tak mau luruh
Menjadi Nada

Dalam olah vokal padat Jose Rizal Manua, Tahun Baru tampil mengusik, menggalaukan dan jenaka sekaligus.

Ingin kutuliskan sesuatu yang bukan Senin sampai Minggu
Bukan juga 1 sampai 31

Aku ingin menulis tentang Kamu
Pemilik segala yang silam maupun yang datang
………..dst.

……..
“Apakah kita melupakan sesuatu?
Seperti sepasang sepatu yang menyesatkan tamu?”

“Ah, kamu terlalu parno! Tenang saja.
Sang waktu ibarat borgol, ia selalu menepati janji sampai kita mati!”

“Ah, kenapa kita bicara mati?”
“Selamat Tahun Baru sayangku. Selamat menempuh hidup baru!”

“Kalau mati?”

“Mungkin mejan. Ganti sumbunya!”

Ya, jelajah Cinta Yudhistira mengembara ke segala penjuru, bahkan tersungkur di lantai Raudhah, sebagaimana terlukis dalam Madinah yang ditampilkan secara teatrikal nan elok oleh Renny Djajoesman.

Aku duduk ngungun di sudut kasur
Tertatih-tatih mengeja alif-ba-ta-Mu
Duka itu tak terlepas juga
Aku masih terlilit oleh tetek bengek yang fana
Padahal, jauh dari negeriku aku datang untuk memahami-Mu
Ingin mencari Cinta-Mu.

Juga dalam Nur, melalui interpetrasi teatrikal lain oleh Yuka Mandiri.

……
: Al-Qur’an

Dan bintang-bintang
Berkilau
Di sayap-sayap malaikat

: Kata
Demi akhlak
Demi akhlak
Demi akhlak

:Ku

(15 abad tak sudah!)

Iga “Barasuara” Massardi

Pentas “Perayaan Cinta” juga diperkaya oleh keragaman tafsir musikal atas karya-karya Yudhis. Duet Antareza dan Soemantri Junior dengan nuansa gitar akustik, duo Chikita-Isabella Fawzi dengan perpaduan gitar akustik dan akordion, penjelajahan Iga “Barasuara” Massardi dalam desis-desis melodi gitar elektrik beserta efeknya yang sublim untuk berdialog dengan olah vokal Tika yang berselancar dalam rentang nada tak kurang dari tiga oktaf, dan…. persekutuan vokal soprano Artidewi dengan notasi-notasi anggun grand-piano dan cello.

“Kebebasan interpretasi”, begitu Iga menggambarkan dalam introduksinya beberapa saat sebelum pentas dimulai. Setiap tafsir musikal berangkat dari kebebasan. Lengkap, memukau, memesonakan! Maka pantas pentas ini jauh-jauh hari di-woro-woro-kan dengan tajuk “Merayakan Cinta Bagi yang Berjiwa Muda.” Sepanjang pertunjukan, tafsir-tafsir musikal yang berbeda-beda itu seperti meruapkan puisi-puisi tersendiri dalam apresiasi dan gemuruh tepuk tangan sekitar 200 penonton.

Perjalanan 63 Cinta bukan sekadar resume puitis biografi cinta Yudhistira, sang penulis novel legendaris Arjuna Mencari Cinta. Ini bukan buku tentang pencarian cinta. Buku ini mendekati visualisasi perjalanan Yudhis yang telah basah kuyup dikurung cinta. Cinta bersama Siska yang tidak hanya menyemai satu demi satu keluarga baru dan kehadiran cucu, tetapi juga membuka ladang amal bersama yang siap diolah siapapun penerusnya: Sekolah Batutis Al-Ilmi. Iga yang semakin kokoh mengibarkan bendera “Barasuara” memberinya cucu cerdas jelita Kiarakuma, Taya (puteri satu-satunya) yang telah berteduh dalam mahligai rumahtangga kini turut berkhikmad di Sekolah Batutis. Dan Kafka, tak lama lagi merampungkan kuliahnya.

………
Menjadi 50 tahun kekasihku,
Bagai prasasti: terpahat gurat dan tanda, tangis dan tawa
juga debu dan ilalang, yang datang dan yang hilang
juga berpasang-pasang harapan
yang terbang bersama 19 kupu-kupu perkawinan
membawa Iga, Taya dan Kafka ke masa depan
………

(50)

Dan, saya, sebagai salah satu pemetik keindahan “Perayaan Cinta” malam itu mendapatkan apa yang dijanjikan Agus Darmawan T dalam kata pengantar buku, “….kita dikondisikan seperti sedang mencuri baca buku harian orang lain. Asyik, buru-buru dan deg-degan….” mencurinya secara lebih lengkap dari panggung yang dipandu Ario Kiswinar Teguh. Yang tidak sempat nonton, baca saja, bukunya tetap asyik, buru-buru dan deg-degan, bahkan setelah saya menonton pertunjukan itu.

Tinggalkan komentar